Ada Apa Dengan Cinta, Film & Saya?

Begies
3 min readDec 29, 2023

--

Banyak film yang menggambarkan dunia cinta itu berwarna hitam dan putih layaknya film Jatuh Cinta Seperti di Film-Film atau film-film Perancis. Tapi, bagi saya dunia cinta tetaplah berwarna merah dan biru yang menjadikannya ungu seperti di film Ungu Violet.

Saya memang terbilang telat nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film, karena kesempatan saya untuk mengunjungi bioskop baru ada menjelang libur akhir tahun ini. Itupun, tidak semua bioskop di Jakarta masih memutar Jatuh Cinta Seperti di Film-film. Jadi, pada sore itu saya hanya memiliki dua pilihan yakni XXI Blok M Square atau Hollywood XXI. Keduanya adalah bioskop dengan kelas paling “Tidak Merogoh Kocek” agak lain dari bioskop kelas premium lainnya di Jakarta.

Saya menunggu hujan reda, setelah jam pulang kerja saya langsung meluncur ke Blok M (kebetulan tidak jauh dari kantor saya di Kemang) Bioskop itu berada dikerumunan pasar baju dan suasananya sungguh egaliter. Saya yakin ruang-ruang di bioskop ini cukup lama melintasi zaman dan perubahan di area Melawai. Orang-orangnya pun campur aduk kelas sosial dari yang menggunakan sepatu, sandal jepit, anak muda, tante-tante, anak kecil juga ada, bahkan kaum fundamentalis pun ada.

Ya, alasan saya pergi ke bioskop bukan cuma sekedar untuk nonton film. Tapi, juga untuk sedikit membuang waktu di akhir pekan karena saya masih bujang dan tidak punya alasan untuk pulang ke rumah lebih awal.

Banyak yang bilang bahwa film ini “Hitam-Putih, Hyper Reality, dan EDAN.

Kenapa edan?

Bagi saya, film yang berlangsung sekitar 2 jam ini dengan warna hitam putihnya menyita waktu dengan percakapan yang segar. Kisahnya amat berwarna. Tapi, ada satu hal yang menyadarkan saya ketika menonton film ini yakni saya teringat TALITHA. Memori saya tentangnya terasa kembar dengan kisah pada Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Bahwa seorang tokoh bernama Bagus merasa ia telah menolong dan membantu memberi pengetahuan baru terhadap Hana. Ternyata Bagus tidak menyadari bahwa sikapnya selama ini menyebalkan dan egois.

Hmm.. saya juga menyadari bahwa pada masa itu saya adalah cowo yang menyebalkan dan egois. Tapi, ya sampai saat ini saya juga merasa bahwa tidak ada jalan kembali tanpa noda. Alias masa-masa yang terjadi pada saat itu tidak bisa saya retake seperti film.

Singkatnya, kami pada waktu itu akhirnya bubar karena tidak saling memahami. Saat itu, saya baru saja lulus kuliah dan harus di-Jakarta-kan, sehingga pada masa itu saya resmi jadi pengangguran dan lontang-lantung tinggal di daerah Pasar Baru. Saya rasa pada waktu itu saya tidak bisa membedakan antara ekspresi diri, cara berontak dan kompromi. Maafkan ya, Tal.

Sekian curhatnya, kita lanjut dongengnya…

Usai film selesai, waktu menunjukkan pukul 9 malam. Saya bergegas keluar dari bioskop karena kelaparan. Saat itu, lobi XXI sedang memutar lagu “Menunggumu — Chrisye feat Ariel” dan saya terbengong sambil melihat iklan poster Luna Maya di lift karena rupa-rupanya selama ini saya juga sedang menunggu seseorang.

Keluar dari Blok M Square, saya lewat pintu belakang. Seketika saya disambut oleh asap makanan yang keluar dari panci-panci pedagang Soto, hembusan asap Sate Kambing, juga aspal jalan yang basah sehabis hujan, tidak lupa tetesan air dari dahan pohon saat saya berjalan menuju parkiran.

Sepanjang perjalanan pulang saya cengengesan, memikirkan film tadi dan juga memikirkan diri saya sendiri. Sampai saya lupa bahwa saya lapar dan akhirnya mampir untuk makan semangkuk soto segar di daerah Halim dan cerita hari ini berakhir.

Rasanya seperti di Pilem-Pilem…

TAMAT.

--

--

Begies

Akademik, Cerita & Sastra. Lugas dan lantang sejak Kuliah.