Josephine Anak Domba Yang Baik

Begies
2 min readOct 19, 2021

--

Diungkap dalam Begies: Oase Kesejukan Di Akhir Era Perkuliahan.

Pusat Studi Bahasa Jepang © Begies Imanda.

Teruntuk Jo, matamu alangkah lunak. Bibirmu agak pucat, alangkah sepi.

Josephine anaknya cakep, meski agak galak. Kalau sedang cemberut dia terlihat sensual. Bibir Jo memang bagus. Artinya, memenuhi syarat untuk di pajang sebagai cover majalah. Bodinya kontemporer. Di luar hal itu, saya yakin ayah dan ibunya orang yang bermoral. Mereka juga pasti sama-sama berpendidikan seperti Jo. Dan juga tidak kekurangan uang karena bisa menyekolahkan Jo di Institut Teknologi Bandung. Tapi, yang paling penting tidak mengidap penyakit berat hingga menggangu kejiwaan mereka. Seharusnya hidup Jo tidak menakutkan lagi. Tidak perlu was-was karena ada bom yang tiba-tiba meledak disampingnya.

Namun, setiap saya mendekati Jo, ia selalu punya jurus tersendiri yaitu jurus tutup mulut. Dia setel aksi bisu tuli. Rasa percaya diri saya goyah, yang tadinya PD banget, sekarang menjadi bimbang. Saya tetap tidak diorangkan oleh si Jo. Saya memikirkan Jo sepanjang hari, membayangkan apa yang Jo kerjakan. Saya sesekali ingin mengajak Jo nonton, atau minum es krim dan sekedar putar-putar kota melihat keramaian.

Tapi, kesukaan saya terhadap Jo bermula dari ketidak-rasionalan. Saya suka memperhatikan Jo dari rambutnya karena terprovokasi sebuah iklan: kalau mata mencerminkan hati, rambut mencerminkan psyche, jiwa. Dalam rambutnya saya melihat pesona Dago. Ia penjelmaan keanggunan pagi. Sosoknya natural seperti kedatangan pagi. Tiba-tiba seperti jadi bagian diri. Maka dari itu, agaknya saya ingin dari waktu ke waktu hanya berduaan dengan si Jo. Habis Jo orangnya penuh vitalitas, sangat hidup dan lucu.

Begitu pula, Jo merupakan perempuan keturunan. Di mata subjektif saya keluwesan oriental dalam beberapa hal memang tak dapat ditandingi oleh barat. Di telinga saya suara Jo bukan lagi terdengar membujuk, tapi memikat. Mungkin, Jo seperti kebanyakan perempuan cantik dan wangi yang lalu-lalang di Mall Jakarta. Tapi, ada satu hal yang memikat yaitu: Misterinya.

Namun, saya agak sulit menyukai Jo dalam kondisi liar seperti ini. Hidup saya mengidap stereotip seniman itu bebas, mandiri, heroik sekaligus kere. Apalagi saya hidup di lingkungan krosboi kurang makan. Kedatangan Jo dalam hidup saya lebih fiksi dari novel, saya menerima kedatangannya dengan keriangan jiwa tualang.

Namun, disaat saya belajar bertanggung jawab penuh atas studi ini. Sekonyong-konyong Josephine datang. Badai asmara! Badai itu terus menggelora. Di seluruh tubuh. Terbawa kemana-mana. Berkecamuk sepanjang waktu. Dunia saya menjadi Josephine semata. Ia muncul dimana-mana. Pada setiap wajah wanita. Di kosan. Di kampus. Di bar. Bahkan dikala membaca. Hanya ada Josephine. Dalam pikiran yang terlintas hanyalah: “kalau suka jangan di bunuh. Perjuangkan!!!”

Pastilah mati di bunuh Jo akan lebih menyenangkan daripada mati karena nabrak trotoar. Namun, Jo hanyalah fragmen dalam mimpi, fragmen yang indah dan harus berakhir ketika bangun pagi.

Cukup sekian dulu, Jo. Kalau menceritakanmu terus pikiran saya jadi defect, harus dibetulkan.

--

--

Begies

Akademik, Cerita & Sastra. Lugas dan lantang sejak Kuliah.