Kekerasan Budaya Pasca ‘65

Begies
10 min readFeb 4, 2021

--

D.N Aidit/ pinterest.com

Pada 25 Desember 1925, bertepatan dengan hari natal, para petinggi partai komunis Indonesia (PKI) melakukan pertemuan kilat di prambanan Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dipimpin Sardjono itu dihasilkan sebuah keputusan yang dikenal sebagai keputusan prambanan. Bunyi keputusan itu adalah “perlunya mengadakan aksi bersama, mulai dari pemogokan-pemogakan dan disambung dengan aksi senjata. Kaum tani supaya dipersenjatai dan serdadu-serdadu harus ditarik dari pemberontakan ini.”

Pemberontakan terjadi secara sporadis di beberapa kota, seperti Jakarta, Solo, Boyolali, Tasikmalaya, Kediri, Pekalongan, Ciamis, Silungkang, Indramayu, Majalengka, Kuningan dan yang paling dahsyat adalah Banten. Yang menjadi target pemberontakan tersebut adalah para priyayi yang menjadi kaki-tangan Belanda dalam menindas rakyat. Menurut Michael William (2003), Banten merupakan salah satu pusat pemberontakan. Dari 13.000 tahanan yang ditangkap pascaperistiwa 1926 itu, sebanyak 13.000 orang (10%) di antaranya berasal dari Banten.

Kenapa Banten?

Dalam merekrut anggotanya PKI Banten terlebih dahulu merekrut para ulama aktivis Sarekat Islam dan jawara alias bandit lokal. Karena bandit dan ulama ditakuti serta dihormati warga, disitulah anggota PKI Banten meningkat tajam.

Cerpen Sel D karya S. Anantaguna, cukup menarik buat saya. Sel D adalah sel terakhir bagi “inlander” yang memberontak sebelum dibuang ke Boven Digul yang sarat dengan berbagai macam penyakit. Ratmono yang menjadi tokoh utama itu, adalah satu pegawai di lembaga “drujkerij de boer” dibawah pimpinan De Vries, melakukan gerakan bawah tanah melawan kompeni. Informasi-informasi penting seperti hasil rapat gelap di Prambanan. Yang dikenal dengan keputusan Prambanan disampaikan kepada rekan-rekan aktivis.

Aksi yang dilakukan Ratmono itu diketahui oleh resersir (seorang mata-mata Belanda). Ia pun ditangkap dan disiksa. Karena ia tetap melawan saat diintrogasi, ia dimasukkan ke sel D. Cerpen ini sangat bagus dalam menggambarkan keteguhan seorang komunis. Ketetapan hatinya begitu kuat, dan keyakinannya begitu tinggi, sehingga seberat apapun siksaan itu, ia akan tetap tabah menjalaninya. Tokoh Abdul Mutalib, yang namanya seperti nama kakek Nabi Muhammad itu mempresentasikan kalangan islam kiri.

Anti-komunisme sudah ada sejak jaman kolonial Belanda dan anti-komunisme tetap bercokol pada masyarakat Indonesia. Kekerasan yang terjadi pada masa kolonial Belanda dan orde baru, serta agen-agen kebudayaan melalui produk budaya salah satunya juga karya sastra, merupakan bentuk dukungan yang sangat mendasar dalam menciptakan sudut pandang bahwa komunisme merupakan musuh negara yang paling utama.

Berbeda dengan cerpen ini yang melukiskan kehidupan seorang komunis pada pada saat itu, cerpen ini tidak mengibliskan kaum komunis di Indonesia, tidak seperti karya-karya sastra yang didukung oleh CCF (Congress for Cultural freedom) yang dimotori oleh CIA terutama dalam sponsor keuangan. juga cerpen ini yang menceritakan bahwa Belanda sangat benci komunis, dikarenakan Belanda sendiri adalah kaum kapitalisme. Diceritakan bahwa Belanda telah banyak merampas hak rakyat di Indonesia dan juga telah banyak menghisap darah pribumi setiap harinya melalui pajak yang Belanda buat. Belanda juga telah banyak memonopoli perdagangan di Indonesia melalui VOC dan menjadikan pribumi sebagai budak dari mereka para kolonial.

Dari situlah mengapa tidak sedikit dari masyarakat Indonesia yang menganut ideologi kiri alias komunis, karena beranggapan komunis adalah keadilan. Sedangkan, Belanda banyak menindas masyarakat pribumi lewat cara-cara kapitalisnya. Akhirnya terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh PKI.

Berikut adalah kutipan-kutipan dalam cerpen SEL D yang mencerminkan keadaan pada saat itu:

“Aku harus menyampaikan keputusan partai yang dibawa oleh pak Abdul Muthalib”

“kau tadi tidak diikuti resersir?” tukas kawannya.

Disini menjelaskan bahwa orang-orang komunis pada saat itu sangat diburu oleh pemerintahan Belanda dan mereka orang-orang komunis siaga saat melaksanakan tugasnya atau kepentingan partai.

“yah. Meskipun semula kita belum menyetujui pemberontakan, tetapi keputusan prambanan, kata pak Abdul Muthalib, bahwa rakyat sudah marah karena pemerintah Belanda semakin menggila. Penderitaan, tekanan, kekangan sudah tidak tertahan lagi, sehingga meletus juga pemberontakan.”

Ratmono menjelaskan bahwa ia dan teman-temannya belum menyetujui adanya pemberontakan, tapi mau bagaimana lagi karena Belanda sudah keterlaluan atas penindasannya yang dilakukannya. Karena itu masyarakat sudah sangat marah atas ulah Belanda, dari situlah akhirnya PKI menyatakan untuk melawan dengan cara serangan bawah tanah atau serang secara fisik.

“jika massa menghendaki merah, tapi kita menginginkan kuning, akan berarti partai kita mengkhianati massa.”

Dalam arti, jika rakyat sudah meminta untuk melawan atau sudah tidak ada toleransi, tapi dari atasan masih memberi simbol kuning yaitu masih memberi toleransi terhadap Belanda atau menahannya untuk melawan itu tandanya partai kita berkhianat karena dianggap tidak mewakili suara rakyat.

“partai kita hidup dan matinya tergantung mereka. Apapun kesulitannya, risikonya yang berontak harus dipimpin. Kita harus bersama-sama mereka hidup atau mati.”

Kutipan tersebeut menjelaskan bahwa partai komunis ada dari rakyat kecil dalam arti partai komunis adalah partai kaum buru atau partai tani alias partai yang mendukung keadilan untuk rakyat kecil. Partai komunis hidup dan mati bersama rakyat.

“seorang komunis bisa kenal kalah, tetapi komunis yang baik tak kenal menyerah!”

Menjelaskan bahwa mungkin komunis bisa kalah, tetapi komunis tidak akan meyerah dalam arti lebih baik mati daripada meyerah.

“saya menjadi komunis bukan karena gaji kurang, Tuan! Harga komunis tidak begitu murah dari begundal-begundal sawo matang yang menjilat pantat penjajah!”

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa pada saat itu banyak masyarakat pribumi juga yang pro terhadap Belanda karena ekonomi tapi dengan cara menjadi budak kesayangan Belanda alias menjilat pantat penjajah.

“orang-orang Belanda menghisap darah kami semua”

Maksudnya orang-orang bumiputera dihisap darah lewat pajak, karena Belanda banyak mengambil keringat hasil kerja keras para tani dan buruh untuk menggendutkan perut meraka alias Belanda sangat serakah dan kejam. Belanda membeli hasil kerja rakyat dengan harga murah dan menjualnya dengan harga tinggi. Itulah yang disebut kapitalisme.

Meskipun Belanda telah memberi gaji kepada pekerja pribumi,tapi hal itu tidak sebanding dengan harga keringat yang masyarakat keluarkan dan keuntungan untuk Belanda sendiri sebagai kapitalis.

Juga menjelaskan bahwa komunis bukanlah bandit di negeri ini, melainkan orang-orang pro terhadap Belanda adalah Bandit karena membantu Belanda merampas dan menindas kaum bumiputera.

“komisaris polisi dan de ruiter mengeroyok, pukulan dan tinjuan seperti bulan desember.”

“saya tahu tuan-tuan menuduh saya dengan kesopanan dan keadilan tinju tuan-tuan.”

Bagaimana kolonial dan anti-komunisme melakukan tindakan kekerasan fisik terhadap kaum komunis dengan cara memukulinya habis-habisan.

“bangsat! Kau komunis-komunis pemberontak dan diputuskan dibuang ke tanah merah! Bawa bajingan ini ke sel D.”

Sel D merupakan sel yang paling kejam seperti neraka. Sel tersebut cukup gelap dan tempat berbagai macam penyakit, berarti tahanan komunis dianggap sebagai tahanan paling berbahaya dibanding penjahat atau perampok dan dianggap benar-benar musuh negara pada saat itu.

Dan di sel D pun isinya adalah teman-teman dari Ratmono sendiri yang sudah tertangkap. Dalam arti orang-orang yang ditahan disel itu adalah orang-orang komunis yang sudah disiksa habis-habisan. Juga mereka bilang bahwa orang-orang komunis yang ditahan di sel D ini adalah komunis yang setia terhadap sumpahnya.

“Ratmono dipukuli, ditendang, ditinju sampai pingsan lagi. Tetapi, satu per satu sel-sel itu akan memelopori menyanyikan mariana proletar. Menyanyikan perlawanan untuk hidup!.”

Mariana Proletar merupakan sebuah lagu sosial kelas rendah. Istilah proletar dalam ilmu sosiologi sebenarnya bukan barang baru lagi saat Karl Marx pertama kali merujuknya sebagai salah satu kelas proletar. Kelas ini sebenarnya sudah banyak muncul sebagai sebuah rujukan kelas dengan nama-nama yang berbeda. Dalam artian Karl Marx, proletar adalah masyarakat kelas kedua setelah kelas kapitalis yang hidup dari gaji hasil kerjanya. Banyak stereotip yang memandang bahwa proletar hanya terbatas sebagai masyarakat kelas rendah. Pekerjaan mereka tak lepas dari buruh, petani, nelayan atau orang-orang yang berkutat dengan pekerjaan tangan.

Sampai jatuhnya orde baru pun tidak serta merta diikuti dengan memudarnya ideologi anti komunisme dan sampai saat ini pun anti-komunisme masih bercokol di Indonesia. Kekerasan terhadap komunisme yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru dan agen-agen kebudayaan melalui produk-produk budaya merupakan bentuk dasar dalam menciptakan sudut pandang bahwa komunisme adalah musuh negara.

Jadi, bagaimana agen-agen kebudayaan melakukan kekerasan tak langsung terhadap kaum komunis?

Ya, dengan produk-produk budaya. Bagaimana produk kebudayaan dituangkan melalui karya sastra dan film oleh para penulis anti-komunisme dan militer, untuk penghancuran komunisme dan bangkitnya orde baru di Indonesia. Dengan demikian pemanfaatan produk-produk budaya seperti film dan karya sastra untuk meligitimasi kekerasan 65 menjadi sangat krusial dalam menyediakan fondasi ideologis agar kekerasan tersebut dapat dilihat sebagai hal yang normal dan natural.

Bahwa kuatnya ideologi anti komunis merupakan hasil dari kampanye kebudayaan dimana nilai-nilai ideologis dan moral ditransformasikan dalam perspektif untuk melihat bahwa komunisme merupakan ancaman besar negara yang harus dihancurkan. Namun saya beranggap sama dengan para ahli bahwa komunisme sebagaimana rezim politik apapun juga berpotensi menjadi rezim yang represif seperti terbukti di negara lain. Namun perlu diingat adalah pembunuhan massal peristiwa 65–66 tetap merupakan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia.

Nilai-nilai moral, ideologis dan bahkan artistik merupakan kekuatan-kekuatan kebudayaan yang dimanipulasi orde baru dan agen-agen kebudayaan selama lebih dari 30 tahun untuk manancapkan dan memelihara perspektif bahwa komunisme adalah musuh utama negara.

Beberapa produk kebudayaan yang digunakan untuk mempromosikan anti-komunisme, seperti ideologi negara, museum, monumen, folklor, agama, buku-buku pegangan siswa, film dan karya sastra.

Para budayawan, penulis, intelektual dan seniman anti-komunisme berupaya menegakkan semangat ideal barat atas kapitalism liberal pada 1960an mamainkan peran penting dalam menciptakan fondasi wacana anti-komunisme, khususnya dalam konteks aktivitas kebudayaan Indonesia semasa puncak perang dingin ( mendekati peristiwa 30 september 1965).

Perdebatan kebudayaan terjadi pada 1960an antara penulis yang diasosiasikan sebagai pendukung ideologi kiri yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), dan pendukung ideologi humanisme universal merupakan manifestasi Perang Dingin dibidang kebudayaan. Dengan konteks inilah pendukung humanisme universal membuat pernyataan sikap anti-komunisme mereka yang terkenal dengan nama Manifes kebudayaan (Manikebu). Dengan kata lain komunisme harus dimusnahkan dari kehidupan kebudayaan di Indonesia.

Sesudahnya dihancurkan PKI dan organisasi-organisasi serta afiliasninya, termasuk Lekra. Hampir seluruh penulis Lekra ditahan di pulau buru atau yang lainnya pergi ke luar negeri. Khususnya, Pramoedya Ananta Toer adalah contoh bagus bagaimana praktik kebudayaan kiri dimarjinalisasi oleh pemegang otoritas kebudayaan orde baru. Pelarangan karya-karyanya memicu perhatian luas dari komunitas internasional. Akibatnya, karya Pramoedya dikenal luas di dunia. Tapi, Humanisme universal memarjinalisasi pendekatan artistik kiri sebagai karya seni murahan.

Seiring itu juga militer Indonesia berupaya membangun orientasi politik anti-komunis dengan cara terang-terang yaitu membuat pembenaran terhadap kampanye kekerasan yang mereka lakukan melalui produksi dan produk kebudayaan. PKI juga dituduh sebagai satu-satunya pelaku percobaan kup yang menewaskan tujuh perwira militer.

Namun, lebih sedikit lagi yang membahas intitusi kebudayaan dan filantrofi asing seperti CCF (Congress for Cultural Freedom), yang didonori oleh Ford foundation dan Rockfeller foundation, di dalam ranah kebudayaan Indonesia. Mengapa mereka begitu semangat mendukung intelektual anti-komunisme Indonesia dan mempromosikan nilai-nilai kebudayaan barat. Yayasan raksasa seperti Ford & Rockfeller Foundation memegang peran penting sebagai penyandang dana, CCF sesungguhnya dimotori oleh CIA (yang juga sponsor keuangan CCF paling utama). CIA pula melalui pejabat-pejabat Corporation, yang bekerja erat dengan faksi sayap kanan Angkatan Darat di Seskoada (Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat) di Bandung, untuk mengeliminasi kekuatan kiri di Indonesia.

Begitu juga dengan Goenawan Mohamad yang dipandang oleh pesaing-pesaingnya sebagai agen imperialisme kebudayaan Amerika. Jaringan luas yang dibangunnya dengan institusi-institusi kebudayaan dan filantrofi barat menajdi target kritik tidak saja dari pesaingnya yang tergabung dalam KSI (Komunitas Sastra Indonesia) khususnya buletin Boemipoetra , tapi juga dari mantan koleganya yang pernah bersama-sama menandatangani Manifes Kebudayaan pada tahun 1963, Taufiq Ismail, editor senior majalah sastra Horison.

Hal ini mendorong para aktivis buletin boemipoetra, khususnya penyair Wowok Hesti Prabowo dan Saut Situmorang untuk mengetahui lebih jauh mengapa mereka bersebrangan pandangan dengan Goenawan Mohamad dan aktivitas kebdayaannya. Terkait isu kala itu untuk mengetahui alasannya melancarkan serangan terhadap aktivis kebudayaan Goenawan Mohamad. Dicurigai bahwa Goenawan Mohamad adalah agen utama liberalisme barat (imperialisme Amerika), khususnya dalam kerangka mempromosikan eksploitasi seksual melalui karya-karya sastra kontemporer.

Begitu juga dengan kajian-kajian penelitian kesusastraan yang berkait dengan tragedi 65 telah dilakukan oleh sejumlah peneliti. Seperti, Keith Foulcher (1990) dan Anne Greta (2001) yang berusaha mencermati nasib korban 65 dan kekerasan militer 65 yang masih hidup dilukiskan dalam karya-karya sastra. Ashadi Siregar yang lahir pasca peristiwa 65 (Jentera lepas, 1979), Yudhistira Ardi Noegraha (Mencoba tidak Menyerah, 1980) dan (Arjuna mencari Cinta, 1979), Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia, 1980), Ahmad Tohari (Kubah, 1980), dan khususnya Ajip Rosidi (anak tanah air: secercah kisah, 1985) dengan mengajukan argumen bahwa karya-karya ini tidak saja merefleksikan perbuatan brutal militer terhadap kaum komunis tetapi juga mewakili kebangkitan kembali tradisi realisme yang bermuatan sejarah setelah hancurnya tradisi kesusastraan kiri pada 1965.

kesimpulannya,

Sebagaimana peran CCF salah satu organisasi yang mempromosikan ide-ide kebebasan intelektual dan artistik AS, sangat berpengaruh dalam mengarahkan pembangunan kebudayaan nasional Indonesia seiring dengan kepentingan ekonomi politik-politik AS di Indonesia. Untuk itu, CCF dengan dukungan CIA secara agresif mempromosikan pemikiran kebudayaan barat sebagai dari bagian kampanye kebudayaan AS untuk memerangi komunisme di lingkungan komunitas intelektual dan artistik Indonesia. Sementara, peran PSI seperti Sjahrir, Soedjatmoko, dan Sumitro Djojohadikusumo sangat besar dalam memelopori kontak dengan institusi barat, khususnya yang berbasis di AS, bagi banyak tokoh kebudayaan anti-komunisme.

Sebagian besar intelektual dan penulis yang berada dibawah pengaruh CCF dalam menggencarkan ide-ide liberalisme barat adalah mereka yang berinteraksi di PSI seperti Mochtar Lubis, Sutan Takdir Alisjahbana, Rosihan Anwar dan golongan mudanya seperti Goenawan Mohamad, Soe Hok Gie, Arif Budimana dan Taufiq Ismail.

Ketika kolaborasi rahasia antara CCF dan CIA dibongkar oleh laporan New York Times pada 1966, yang menyebabkan dibubarkannya CCF, kemudian lahirlah IACF. Walaupun pendirian IACF dimaksud untuk menghapus jejak CIA didalam CCF, namun reportase itu sudah memberikan bukti nyata bahwa AS telah menjadikan kebudayaan sebagai senjata penting untuk membela kepentingan politik luar negeri mereka di Indonesia.

Alhasil, alih-alih mengekspos pelanggaran hask asasi manusia yang dialami oleh kaum komunis, cerita-cerita pada majalah Horison justru berfungsi sebagai justifikasi terhadap pembunuhan massal 1965–1966. Horison telah sukses memanipulasi ide-ide manusia dengan menerbitkan cerita-cerita yang menukar titik tragedi dari korban kekerasan kepada para pelakunya melalui sebuah cara yang sangat halus, sehingga pembaca akan merasa kalau pelaku kekerasan sebagai pahlawan yang sebenarnya yang berusaha menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.

Setelah itu muncul institusi kebudayaan alternatif pada tahun 1990, yaitu JAKER yang dipimpin oleh Wiji Thukul. Ia hadir sebagai perlawanan terhadap ideologi dan praktik kebudayan orde baru. Wiji Thukul kembali menekankan komitmen sosial dan politik kesenian, sebagaimana dulu dianjurkan oleh Lekra.

Dan sekarang tantangan paling serius terhadap narasi resmi 1965, justru dihadirkan oleh orang luar perdebatan, yaitu Noorca Massardi dalam salah satu novelnya September (2006). Noorca merupakan saudara kembar dari Yudhistira A.N.M yang sering disebut sebagai sastrawan mbeling, dan termasuk sastrawan favorit saya. Noorca juga pernah menjadi koresponden majalah berita tempo di Paris.

Daftar Pustaka

Wijaya Herlambang. 2013. Kekerasan Budaya pasca 1965. Marjin Kiri. Bagaimana orde baru meligitimasi anti-komunisme melalui sastra & film.

S. Antaguna. cerpen “Sel D”.

--

--

Begies

Akademik, Cerita & Sastra. Lugas dan lantang sejak Kuliah.