Sebelum Pagi Terulang Kembali: Sirkus Politik & Anti-Korupsi.

Begies
4 min readMay 24, 2023

--

Bukan Kritik.

Sebelum Pagi Terulang Kembali © Indonesia Film Center

“Politik dan Korupsi menjadi komoditas seksi bagi oknum politisi muda di negeri ini. Mereka menganggap bahwa politik adalah bisnis. Betul, politik adalah bisnis yang sangat buruk. Banyak politisi muda yang tuna gagasan, tuna berpikir atau bahkan dangkal akal budi. Politisi muda seperti ini mudah percaya terhadap seseorang, tak pernah mempercayai gagasan. Akibatnya, mereka hanya akan menjadi lumbung politik dan hidupnya akan mundur teratur.”

Pertama kali saya menonton film Lasja F. Susatyo saat masih SMP, film pertama yang saya tahu adalah Lovely Luna. Film-film semacam ini memang sengaja ditayangkan untuk orang-orang yang terbangun tengah malam.

Adegan diawali dengan aksi Adinia Wirasti yang sedang lari pagi. Kehidupannya cukup sentosa sebagai anak pejabat pelabuhan yakni Yan (Alex Komang) anak Bulungan murid Teguh Karya. Dan Istrinya yang bekerja sebagai dosen Filsafat. Kehidupan mereka berjalan dengan permai disertai ketiga anaknya yakni Firman, Satria & Dian.

Sebelum Pagi Terulang Kembali © IMDb

Namun, konflik dimulai saat anaknya (Satria) ingin mendapatkan tender pembangunan pelabuhan melalui izin sang Ayah alias jatah proyek. Dari sinilah drama dalam keluarga mereka bermunculan hingga drama politik.

Satria mendapatkan tender pembangunan pelabuhan hingga ia sugih (kaya) mendadak karena berbuat curang. Sang ayah merasa curiga dengan apa yang didapatkan anaknya sehingga ia malu dan mengundurkan diri sebagai pejabat. Yan adalah seorang pejabat yang memegang teguh kejujuran. Namun, rayuan tindak korupsi tak hanya datang melalui lingkup pekerjaannya. Hal ini datang melalui anaknya yakni Satria.

Sejak saat itu kehidupan keluarga mereka menjadi suram dan penuh hujan. Keadaan yang begitu hangat di rumah seketika berubah. Kehidupan Yan dan Istrinya yang bahagia secara holistik (bukan materialistik), teladan dan bersih akhirnya rusak karena ketiga anaknya berpikir tak berlandaskan gagasan, namun mempercayai seseorang.

Sebelum Pagi Terulang Kembali © IMDb

Padahal melalui instansi pendidikan kita belajar agar belajar mempercayai gagasan, bukan orang. (Apalagi orang semacam politisi.) Tak ada yang bisa diharapkan dari orang yang semacam politisi. Nah, dari perjalanan pendidikan itulah kita bisa mengenal diri secara intelektual.

Saya banyak melihat fenomena para politisi muda saat ini. Dan teringat kembali saat saya menonton “Sebelum Pagi Terulang Kembali”. Menonton film secara tak langsung membangun kesadaran saya akan beberapa peristiwa yang saya lihat disekitaran lingkup saya, khususnya politik.

Beberapa waktu terakhir saya melihat sekumpulan politisi muda yang mengajak mahasiswa untuk ber-revolusi. Politisi itu membuat semacam Recruitment keanggotaan alias menggalang massa dengan kopi. Ya, suara anak negeri ditukar dengan kopi. Sungguh murah sekali. Sekilas, saya melihat mereka diskusi. Saya melihat mereka layaknya pemuda yang latah, gagap serta gugup alias cacat intelektual. Oh, betapa perihnya kebodohan.

Dan, kebodohan mereka tak hanya sampai itu saja. Mereka membuat semacam Adagium yang mengajak pemuda melakukan revolusi politik untuk negeri. Tapi, mereka malah melakukan sirkus politik semacam komedi. Mereka membuat video revolusi menjadi mafia dan berbagi sembako terhadap anak panti (mungkin mereka merasa seperti Robinhood). Tak Cuma itu, mereka tidak melakukan revolusi sama sekali. Mereka hanyalah menjadi duta “SELAMAT” yakni memposting ucapan-ucapan selamat pada hari besar saja tanpa melakukan perubahan atau tindakan.

Awalnya, saya melihat mereka hanya sebagai lumbung politik saja. Namun, kini tingkah polah mereka seperti pertunjukan sirkus. Ya, lebih tepatnya Sirkus Politik yang membela jagoan politiknya sepenuh jiwa, hati dan harga diri. Perseteruan politik mereka tampak dangkal. NIHIL.

Sebelum Pagi Terulang Kembali © Indonesia Film Center

Saya pernah membaca artikel yang ditulis oleh Benny Benke seorang wartawan dan sutradara, bahwa politik ditangan para politisi kebanyakan hanya akan membelah masyarakat, menjadi barang murahan.

Beberapa waktu lalu, saya berbincang politik dengan kawan saya. Dan saya menceritakan hal ini kepadanya. Setelah itu kami berdua menjadi bingung. Karena melihat banyak aspek yang diperhitungkan untuk memilih kandidat Capres 2024 mendatang. Namun, kenyataannya yang kami lihat tentang pondasi politik di negeri ini tidak mencerdaskan di mata kami, malah cenderung seperti parodi.

Politisi muda zaman kini adalah orang berhati saudagar. Orang yang gemar kemakmuran duniawi, tapi tak ingin terlibat keringat. Orang menginginkan kehormatan tapi tak setia pada etika. Mereka hanyalah parasit bermuka dua: priyayi tanpa jiwa bangsawan, kapitalis tanpa usaha. Mereka cuma ‘Saudagar’ yang tak suka sastra atau filsafat. Dan hanya sibuk dengan kemakmuran. TRAGIS.

Jadi, bukan Cuma ngerinya korupsi. Kini, perihnya kebodohan melanda politisi (muda) dalam dinamika politik. Semoga moral selalu menyertai kalian wahai para Politisi Muda! JUJUR, ADIL & BERSIH.

Mungkin dengan adanya adegan berbagi kopi dan nongkrong gratis di Kafe yang diselenggarakan politisi muda ini. Jargon yang tepat bukanlah “Belajar Berpartai Berbakti” namun “Tetap Santai Walau Partai”.

Salam,

Begies Imanda

Salemba, Jakarta Pusat.

--

--

Begies

Akademik, Cerita & Sastra. Lugas dan lantang sejak Kuliah.